Setnov, Boomerang dan Politik di Belakang Panggung
Jika datang ke Water Kingdom di Cileungsi, sempatkanlah mencicipi wahana boomerang. Kita akan dilempar ke sana ke mari, dihempaskan ke atas lalu terjerembab ke bawah. Membuat degup jantung berdetak sangat cepat dan teriakan melepas rasa cemas terlontar keras dari mulut kita. Persis seperti itulah karir politik Setya Novanto.
Sekitar akhir 2015, publik terbetot perhatiannya soal keterlibatan Setnov--panggilan akrabnya--dalam masalah Freeport. Bermula dari laporan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD DPR soal rekaman pembicaraan Setnov dengan pimpinan PT Freeport Indonesia, lalu bola salju pun bergulir cepat, kian lama kian membesar.
Media riuh. Ketidakhadiran Presiden Jokowi pada pesta pernikahan anak Setnov menjadi bumbu penyedap dan mengundang tafsir politik liar. Hashtag #papamintasaham# di media sosial menjadi trending topic. Dan ujungnya, Setnov mundur digantikan Ade Komarudin.
Usai terjungkal dari kursi Ketua DPR pada Januari 2016, banyak pihak yang memprediksi karir politik Setya Novanto sudah mencapai garis finish alias tamat. Namun, hanya berselang 4 bulan kemudian, Setnov terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar (17/5) di Bali. Menariknya, ia mengalahkan Ade Komarudin, Ketua DPR saat itu yang menggantikan dirinya.
Lalu, berselang enam bulan, kursi empuk Ketua DPR kembali Setnov duduki. Dan Ade Komaruddin lagi-lagi harus menerima takdir "kekalahan". Setnov melenggang mulus ke Gedung Parlemen meski banyak yang mempersoalkan ketidaketisan politik mengingat kasus Freeport yang membelitnya.
Kini, Setnov kembali menjadi buah bibir. KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi E-KTP. Hanya berjarak tujuh bulan sejak Setnov menjadi "orang nomor satu" di DPR.
Politik bukan soal apa yang tersaji di depan panggung. Politik adalah tentang sesuatu yang terdapat di belakang panggung seperti yang dilontarkan Erving Goffman, dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959).
Tulis Erving, dalam kehidupan manusia, adakalanya ia berada di panggung depan (front stage) begitu juga suatu saat berada di panggung belakang (back stage). Manusia diibaratkan tengah melakukan sandiwara kehidupan. Panggung depan (front stage) merujuk kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu memainkan peran di atas panggung sandiwara, di hadapan penonton. Sementara panggung belakang (back stage) bercermin pada realitas sebenarnya, tanpa manipulasi, minus sandiwara. Politik transaksional sudah pasti tak akan tersaji di panggung depan. Transaksi justru terjadi di panggung belakang.
Karir politik Setnov yang bagai boomerang tentu saja tak lepas dari campur tangan penguasa. Dia terjungkal dari kursi ketua DPR, lalu comeback menjadi Ketua Umum Partai Golkar, kemudian kembali ke DPR, dan terakhir sebagai tersangka korupsi, tak lepas dari adanya restu rezim. Sangat naif jika kita mengatakan semua itu terjadi by accident.
Jungkir balik karir politik Setnov itulah yang oleh Erving disebut sebagai back stage atau politik di belakang panggung. Ada transaksi di sana. Ada deal-deal politik di dalamnya antara Setnov dengan Penguasa saat ini. Dan semua transaksi tersebut hanya mereka yang mengetahuinya, tak dipertontonkan kepada khalayak.
Politik di belakang panggung tentu saja tak bisa dihindarkan. Ia adalah sebuah keniscayaan dalam dunia politik. Tinggal kita berharap, apa yang tersaji di belakang panggung dimaksudkan untuk kemaslahatan rakyat. Namun, mungkinkah itu terjadi jika melihat begitu vulgar dan kotornya permainan politik yang dipertontonkan?
Jangan sampai negeri ini mengalami nasib serupa Setnov. Terhempas dan terjerembab layaknya boomerang di Water Kingdom. Cukuplah Setnov yang menjadi korbannya.
Erwyn Kurniawan
Pemimpin Redaksi Wajada
0 Response to "Setnov, Boomerang dan Politik di Belakang Panggung"