Salahkah menjadi Anak Rohis?
—
Monday, July 17, 2017
—
Add Comment
—
Opini
Selama dua tahun di bangku SMP, aku memilih ekstrakurikuler Keluarga Remaja Muslim Al-Fikr SMPN 8 Bandung. Iya, bisa disebut aku anak rohis, yang merupakan singkatan dari Rohani Islam.
Dengan mengikuti rohis, aku merasakan wawasanku bertambah. Sharing buku, sharing ilmu, sharing makanan, saling mengingatkan ibadah wajib dan sunnah, belajar menjadi event organizer, belajar public speaking, belajar berbagi, belajar menulis. Ah, hampir segala skill yang kau butuhkan seolah terpenuhi dengan mengikuti rohis.
Lalu apa salah kami, sampai pemerintah harus memicingkan mata dan mengerutkan alis untuk memata-matai kami?
Apakah kami bibit-bibit perusak NKRI?
Apakah kami benih-benih teroris?
Apakah kami dididik dalam kekerasan dan menjadi virus penyebarnya?
Kami dilatih untuk disiplin, kami memiliki buku catatan jadwal harian yang harus kami isi setiap hari. Setiap hari kami harus mencheck list, bagaimana sholat 5 waktu kami apakah dilakukan sendiri atau berjamaah, bagaimana tilawah Al-Qur'an kami dicatat dari halaman ke berapa sampai berapa, kami harus mengisi bagaimana puasa sunnah senin kamis apakah dilaksanakan atau tidak, dicek apakah kami menambah amalan sholat sunnah dhuha dan tahajjud atau tidak, kami juga harus menambah hapalan surat-surat pendek kami agar bisa ganti ke level hapalan selanjutnya.
Kami juga dituntut untuk hapal al-matsurat pagi dan petang serta harus kami amalkan. Kami pun akan diberi sanksi jika ketahuan makan sambil berdiri, tidak sholat wajib, apalagi ketahuan pacaran dan berduaan kami akan dibawa ke meja sidang di mesjid.
Tapi kini aku tidak memegang buku prestasi rohisku lagi, tidak mendapat reward jika kita bisa full melaksanakan puasa sunnah atau target capaian ibadah dan hapalan kami tercapai. Itu hanya latihan, dan implementasinya seumur hidup sepanjang hayat dan senantiasa ada yang tidak pernah berhenti mencatat yakni kedua malaikat di samping kiri dan kanan kita.
Setiap minggu pun kami diberi asupan ilmu dan semangat oleh guru mengaji kami, guru kami, ustadz ustadzah kami. Kami diingatkan untuk menjaga pandangan kami dari yang bukan haknya, tidak menyentuh apa yang haram bagi kulit kita. Kami diberi asupan spiritual dan intelektual agar menjadi muslim yang cerdas dan berkarakter. Tidak mudah goyah diterpa zaman dan modernitas yang menggilas akidah.
Apakah hal seperti yang kalian sebut ancaman bagi bangsa ini?
Kami pun dituntut untuk membaca buku yang menambah wawasan kami. Agar kami bisa berekreasi tanpa perlu membeli tiket pesawat. Cukup dengan duduk dan menunduk kita bisa berimajinasi ke seluruh pelosok bumi.
Dengan bekal seperti itu, menjadi motivasi tersendiri agar kita dapat menjelajah dunia seperi Ibnu Batutta. Menjadi dokter seperti Ibnu Shina, menjadi panglima yang gagah seperti Shalahuddin Al-Ayyubi, menjadi pecinta sejati seperti Rabi'ah Adhawiyah. Menjadi pemberani seperti Umar bin Khattab, menjadi pemuda yang cerdas seperti Ali, menjadi sosok yang lemah lembut dan bijaksana seperti Abu Bakar, dan menjadi dermawan layaknya Usman bIn Affan.
Itu yang kami pelajari selama menjadi anak rohis. Tak ada yang lain, apakah kami diberi pelajaran reaksi nuklir atau bagaimana merakit bom panci? Jangan bercanda!
Kami tak serendah itu, kami bukan komunis, atheis, pelaku anarkis, tukang bokis, sekularis, kapitalis, apalagi berlaku sinis pada siapapun. Kami dididik meneladani akhlak Rasulullah SAW, yang ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak kami kaumnya yang berada di akhir zaman. Kami dilatih untuk meneladani watak hidupnya, agar memiliki sikap shidiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Itu saja, tak ada yang lain.
Silahkan breidel hidup kami, silahkan bedah setiap kajian-kajian kami, silahkan awasi kami, silahkan terus mengusik kami dengan banjir prasangka tanpa bukti. Tapi aku bangga pernah menjadi anak rohis, menjadi bekal emas dalam mengarungi badai kehidupan yang tak pernah kita duga.
Ida Ayu
Bandung, 12 Juli 2017
0 Response to "Salahkah menjadi Anak Rohis?"