Catatan Dahlan Iskan



CATATAN TENGAH, Minggu 11 Juni 2017

Dahlan Iskan, Konglomerat Pers & Ex-Menteri Yang Jadi Tahanan Kota

SURABAYA – “Kalau Anda mau mewawancarai saya, silahkan ke Surabaya. Saya siap menjawab semua pertanyaan anda. Maaf saya tidak bisa kemana-mana, karena saya tahanan kota”, ujar Dahlan Iskan, 65 tahun melalui WA Kamis 8 Juni lalu.

Dahlan Iskan adalah Bos “Jawa Pos “Group. Kelompok media yang membawahi tidak kurang dari 200 harian lokal bernama “Radar” di ratusan kota kabupaten dan kota madya seluruh Indonesia.

“Jawa Pos” juga punya lebih dari 20 stasiun televisi lokal di berbagai daerah. Di Jakarta, Dahlan Iskan merupakan pemilik dari harian “Rakyat Merdeka” dan “rm.online”.

Reputasinya di dunia pers, telah mengantarnya ke dunia birokrasi menjadi Direktur Utama PLN dan Menteri BUMN.

Dahlan Iskan juga mencetak sejumlah jurnalis yang berkualitas. Lewat harian “Jawa Pos” , Dahlan sudah pernah mencetak politisi dan Duta Besar. Sementara dia sendiri asyik dengan kesibukan menekuni industri media.

Sebagai Menteri BUMN di era Presiden SBY, menjelang Pilpres 2014, dia diminta Presiden SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat untuk ikut Konvensi Pemilihan Presiden Partai Demokrat.

Walaupun tidak diumumkan, Dahlan keluar sebagai peraih suara terbanyak dalam konvensi itu. Dan yang menarik, suara dari ranking kedua hingga ke-10, walaupun digabung mnenjadi satu, jumlah suara itu tidak bisa mengalahkan total raihan sendiri Dahlan Iskan.

Demokrat tidak jadi mencalonkan Dahlan Iskan sebagai Presiden RI periode 2014 – 2019, karena perolehan suara
Demokrat tidak memenuhi persyaratan minimal 20%.

Penjelasan singkat Dahlan tentang mengapa dia menjadi tahanan kota, cukup mengejutkan. Selain terkesan kasusnya dipaksakan dan direkayasa, statusnya sebagai ‘pesakitan’ sepertinya sengaja ditenggelamkan di antara banyaknya isu nasional.

Sebisa mungkin penetapan Dahlan selaku orang yang bermasalah hukum, tidak mendapat sorotan publik.

Karena kemungkinan Dahlan akan dibela oleh para pegiat anti-korupsi. Tuduhan bahwa penegakan hukum yang beraroma transaksional dan politik, bisa bermunculan. Karena diam-diam sudah banyak muncul protes dari mereka yang masuk dalam kelompok “Dahlan Iskan Fans”. Mereka mulai tidak suka dengan cara penegak hukum, menerapkan hukum kepada sang idola.

Di mata saya, Dahlan Iskan merupakan tokoh pers yang sukses dan kredibel. Kesuksesanya diraih dengan kerja keras dan kredibilitasnya dicapai melalui pembuktian.

Jawaban Dahlan di telpon selular saya bahwa dia bersedia bicara asal saya menemuinya di Surabaya, membuat saya berpikir dan bertanya; apa sebetulnya yang tengah terjadi di republik ini ?
Apa sebenarnya yang menerpa para menteri yang pernah mengabdi kepada Presiden SBY.

Setidaknya sudah 7 Menteri eks Presiden SBY yang merasakan pedihnya hidup di Istana Pordeo. Mereka adalah selain Dahlan dan Siti Fadilah (Menkes), masih ada Andi Mallarangeng (Menpora), Jero Wacik (Pariwisata, ESDM), Surya Dharma Sli (Agama), Patrialis Akbar (Hukuma dan HAM) dan Bachtiar Hamzah (Sosial).

Namun yang lebih menggoda akal sehat saya adalah mengapa sosok seperti Dahlan Iskan dan Siti Fadilah Supari harus jadi tersangka dalam perkara korupsi ?
Apakah karena mereka berdua bukan politisi, sehingga bisa dipolitisasi melalui hukum ?

Sebagai pemiik media, Dahlan Iskan menguasai tidak kurang dari 200 harian lokal di ratusan kota madya dan kabupaten se-Indonesia. Bendera bisnisnya “Radar”.

Selain harian “Jawa Pos” yang beredar di seluruh Indnesia, di Jakarta Dahlan merupakan pemilik harian “Rakyat Merdeka” dan “rm.online”.

Di dunia broadcasting, Dahlan memiliki lebih dari 20 buah stasiun televisi lokal.

Ini semua menjadikan Dahlan Iskan sebagai seorang raja media Indonesia setara dengan Jakob Oetama dari Kompas Group.

Namun mengapa Dahlan Iskan tidak pernah “memanfaatkan” medianya untuk membela dirinya, membela kebenaran?

Sebelum meninggalkan Jakarta, saya minta penjelasan lisan berupa garis besar yang menyebabkan Dahlan Iskan terjaring hukum dan menjadi seorang ‘pesakitan’.

Galau dan gemes rasanya mendengar penjelasannya. Sebab yang menyebabkan Dahlan berurusan dengan pengadilan, bukan perkara korupsi yang ril. Tetapi perkara korupsi yang dicari-cari . Ketika sulit menemukan kesalahannya, Dahlan Iskan lalu dituduh setidaknya mengetahui rencana korupsi tersebut,

Dikatakan demikian, sebab ada perkara yang terjadi 14 tahun lalu, tiba-tiba dihidupkan. Dahlan dituduh melakukan korupsi di sebuah perusahaan daerah. Padahal ketika perusahaan masih dalam situasi krisis, justru Dahlan Iskan yang diminta turut mengatasi kesulitan perushaan tersebut.

Tidak itu saja Dahlan bahkan menalangi keuangan perusahaan tersebut dengan dananya sendiri sebesar Rp. 25,- milyar. Dan suntikan Rp. 25,- milyar inilah yang membuat perusahaan sakit itu menjadi sehat.

Aneh tapi nyata, di perusahaan yang dibuatnya sukses, justru disitu Dahlan dipermalukan.

Dari kasus ini terlihat penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka koruptor, sekedar menegaskan bahwa sehebat apapun seorang Dahlan Iskan, ratusan pasal dalam Hukunm Pidana dan Hukum Perdata, bisa digunakan untuk menjeratnya.

Kalau saya menyebut konglomerat pers, sebutan itu bukan melebih-lebihkan. Melainkan saya mengajak kita membuat perbandingan dengan sikap dan prilaku kita terhadap para “konglomerat hitam”.

Tanpa disadari kita sudah terlampau permisif kepada para konglomerat hitam tersebut, sementara kita terlalu mudah marah kepada “konglomerat bersih”. Konglomerat dalam arti yang positif.

Bukan rahasia lagi, tercatat sejumlah pebisnis yang bermasalah, tapi kemudian mereka bisa melarikan diri ke luar negeri. Sementara bisnis mereka di dalam negeri yang menghasilkan keuntungan sampai triliunan rupiah, tetap beroperasi.

Ini sebuah ironi. Konglomerat hitam melarikan diri, sementara bisnisnya hanya bisa diberi status “tahanan kota”.

Bukan rasialis dan primordialistis. Tapi setidaknya ada Sutanto Tanoto dan Djoko Chandra yang jelas-jelas sudah merugikan negara dengan skala yang relatif sangat besar, tapi nyatanya mereka bisa hidup bebas di luar negeri.

Bahkan kedua konglomrat hitam itu, masih bisa menjalankan berbagai bisnis mereka di tanah air, lewat “remote control” dari Singapura dan Papua Nugini.

Sehingga dari perspektif ini, saya tidak melihat penetapan Dahlan Iskan sebagai tahanan kota merupakan keputusan hukum yang diambil beradasarkan keadilan. *****
===============
Dahlan Iskan di rumahnya di Surabaya, Sabtu 10 Juni 2017 tengah memberi tanda tangan pada buku seorang tamu dari luar kota. Tamu ini merupakan salah seorang penggemar Dahlan Iskan.

Oleh Derek Manangka.

0 Response to "Catatan Dahlan Iskan"